Se-Bak Air Mata



Aku tidak mau menjadi seorang egois, tetapi perasaan ku juga sakit kali ini. Setelah lamanya mulut ini tetap diam, tanpa bicara. Aku tetap menutup rapat untuk bungkam tentang perasaan yang kewalahan ku pendam. Wajar jika aku menangis, karena kisah ku terlalu dalam dan teramat sangat menggores. Belum saja aku sempat berkata, aku sudah merasakan kecewa. Mungkin, jika aku tetap berbicara, justru bisa lebih menusuk semua batin dan fisik yang lelah. 


“Haruskah aku tetap bisu, seolah-olah aku tidak ada rasa, ataukah aku bicara saja dengan jujur bahwa aku sakit telah jatuh cinta?.” 


Aku rasa aku begitu munafik, hingga tahun telah berganti dan aku tetap memilih bertahan, walaupun aku telah diterpa badai yang sangat mengancam. Mungkin jika aku mati nanti, apa aku akan tetap menjadi mayat wanita yang sangat kasihan. 


Senyuman mu masih belum hilang, suara mu masih terdengar dan sepasang bayangan kaki kita masih bertemu, tetapi hati ku hanya seorang diri menatap pilunya mencintai seseorang yang bukan untukku. Tetapi, mengapa kita selalu bertemu, jika memang seharusnya tidak bertemu?.


Mengapa wajahmu begitu berani sekali untuk muncul di setiap keseharian ku tanpa bilang permisi? Apakah kamu dan halusinasi ku tentang mu begitu egois, ataukah memang diriku yang egois? Sebenarnya siapa yang salah disini? Aku dan perasaan ku atau kamu yang mengajak bertemu?


Aku selalu mengeluh dengan situasi yang membuat ku seperti orang lain, aku tidak bisa terlalu menunjukkan perhatian ku kepada mu, karena aku tidak ingin kamu tau dan menciptakan jarak diantara kita. Atau memang seharusnya ku ciptakan jarak itu dari awal, sebelum gelembung hati ini membesar dan memuncak mencapai langit. 


Pertemuan aku dan kamu tidak seromantis seperti orang lain, saat itu aku sangat canggung dan takut. Hingga waktu perlahan mendekatkan kita sebagai seorang teman yang berbagi cerita dan hanya satu cerita yang saat ini masih terpendam olehku. Cerita cinta pertama kali aku jatuh hati padamu.


“ Hei! Kak Rovi, kenapa akhir-akhir ini sulit untuk bertemu?.” Ujar ku bertanya padanya ditengah makan malam kita.


“Aku sibuk dengan acara pernikahan ku.” Jawab kak Rovi, yang jujur saja membuat ku berhenti makan. Raut wajah ku bisa dibayangkan, kaget. Tetapi, aku masih menyembunyikan perasaan ku dengan senyuman seolah-olah hati ku tidak hancur.


“Wah, selamat ya. Aku sangat bahagia mendengar semuanya, sampai-sampai ingin menangis saat ini juga. Tapi, kita kan lagi makan, jadi aku menghargai suasana.” Ujar ku menghela napas dan mengalihkan pandang ku agar air mata ku tidak terlihat. Kembali ku tersenyum padanya, supaya dia tidak curiga. Sepertinya hanya aku yang menganggap kita dekat, bukankah begitu? 


Aku memang tidak pernah membayangkan bisa dipertemukan oleh kamu dan jatuh cinta kepada mu. Tetapi, aku tidak pernah menyangka kalau sakitnya terus maju bersama cinta yang sakit ini. Apa mungkin Tuhan memang mau kita bersama? Tapi, Tuhan yang mana yang ingin kita terus bertemu?.


Bukankah cinta itu katanya anugerah? Tetapi, haruskah aku bersyukur atas semua yang aku rasakan? Aku hancur, aku sakit dan aku lelah. Tetapi, kenapa aku tetap bertahan dan begitu percaya akan adanya keajaiban. Jari jemari Tuhan ku untuk menggerakkan hatimu, tapi kalau Tuhan mu tidak mengizinkan, sama aja tidak bisa bersama kan?


“Aku suka malam, karena banyak lampu.” Dengan lugu nya aku berbicara begitu dan membuatnya terdiam heran, apa baru aku yang mengatakan hal manis itu?.Ujar ku dengan kaki yang berjalan di trotoar hitam putih bersamamu. Ribuan kendaraan yang mengantri melaju karena lampu lalu lintas yang masih merah menatap kearah kita. 


“Udaranya juga bagus, ngomong-ngomong kamu mau aku pesenin ojek online dimana?.” Kak Rovi bertanya kepada ku.


“Di dekat halte aja, sekalian aku antar kaka ke halte.” Ujar ku tersenyum padanya dan mata ku masih melirik ke jari tangannya, cincin itu dengan manis melingkar di jarinya dan sepertinya aku cemburu, bukankah aku seharusnya lebih cepat untuk mengatakannya?.


“Ojek online sudah Dateng, kalau sudah sampai rumah kabari ya!.” Ujar kak Rovi. 


Tangan ku dan tangannya bersentuhan sebelum berpisah untuk pulang, aku masih terus menatapnya sampai mobil ojek online semakin jauh dan aku tidak melihatnya lagi. Perasaanku begitu bahagia saat kita bertemu, tetapi tidak berlangsung lama. Setengah rasa hancur juga tetap ada. Mengapa benteng ini begitu tinggi dan banyak? Belum saja aku berhasil memanjat satu benteng, tetapi benteng yang lain sudah dibangun. 


Aku begitu setia dengan satu nama yang terlukis di hati ku, tergambar di pikiran dan ku amin kan dalam doa ku. Aku berharap Tuhan ku mengabulkan segala harapan ku untuk bersamamu, tetapi kamu justru tidak meminta pada Tuhan mu untuk bersamaku.


Bukan hanya keyakinan permasalahan kita, tetapi lapisan ekonomi mu dan diriku seperti langit dan bumi,  Sangat jauh sekali. Apa kata keluarga mu nanti jika aku yang bersanding di pernikahan kita?. Aku tidak percaya diri akan semua ini, keyakinan kita saja sudah cukup menyakiti perasaan ku. 


Telinga ku mendengar dan hati ku mengepung untuk runtuh setelah ku dengar dari mulut seorang laki-laki ku yang cintai, ya Kak Rovi berkata bahwa dia telah menikah. Bayangkan perasaan ku saat itu, bukankah aku akan tambah sakit jika berkata jujur soal perasaan ku. Aku tau tidak akan ada kata satu diantara dua Tuhan ini, aku tidak ingin jadi egois dengan merebut mu dari Tuhan mu. Aku juga tidak ingin melukai perasaan wanita mu, jika kamu bersama ku. Lantas, haruskah aku tetap mengikuti alur dan berpura-pura? Atau haruskah aku pergi dan menenggelamkan diri di lautan yang dingin?. Bukankah pilihan itu sama-sama menyakitkan hatiku?. 


Malam ini membuat ku gila menangis sendiri, menghapus tetesan air mata dan tertawa. Lalu, hatiku mendesak air mata untuk menangis lagi dan itu membuat ku menjerit, berteriak dan membungkam mulut agar tidak bersuara. 


Alam semesta akan menjadi saksi dari semua rasa kecewa dan hati yang menjerit tersiksa. Perasaan yang ku biarkan berkorban dan kaki yang egois ingin melangkah bertemu. Ku katakan kepada Tuhan bahwa aku menyerah, ku tangiskan kepergian atas diriku sendiri dan kekecewaan yang tidak bisa memiliki. 


“Mengapa mencintaimu adalah bagian paling menyakitkan dalam hidupku? Mengapa perbedaan kepercayaan, ekonomi dan status yang menjadi penyebabnya? Aku hanya seorang diri yang berdoa pada Tuhan ku untuk nama mu. Aku wanita sehelai kapas yang bisa pergi saat tiupan angin menjadi badai. Aku pergi dengan membawa pecahan kaca dengan darah menetes dari mata.” 


Aku memilih tetap diam memendam semua perasaan sampai akhir. Salahkan waktu bukan perasaan ku. Se Bak air mata telah penuh terisi di kediaman ku malam hari. Segala letih dan semua rasa yang tersisa masih sama. Aku butuh proses untuk melupakan nama yang pernah ku lukis di hati dengan kuas yang perlahan menjadi jarum penusuk dada.
























Komentar

Postingan populer