Lembar Terbuka





Andaikan waktu bisa ku tarik ulur mundur ke belakang. Seperti benang, lalu akan aku putuskan. ku buang jauh hingga tidak bisa aku meraihnya. Aku tidak mau jatuh ke dalam lubang yang sangat dalam. Terbawa arus hingga sulit mencari jalan pulang. Jika saja waktu itu aku tidak pergi merantau ke pulau seberang dan menepi di Provinsi Sumatra Utara (Medan), pasti semua ini tidak akan pernah terjadi. Cerita Allah SWT memang sangat luar biasa. hingga tidak bisa ku tebak alur di dalam kisahnya. Mungkin pertemuan aku dengan dia sudah menjadi bagian dari rencana Allah SWT.


Sudah lebih dari dua tahun aku menjalin hubungan dengan kekasihku. Kekasih yang memiliki nama Johannes Sinaga. Dia sangat tampan dan juga cerdas. Dia seorang sarjana lulusan pariwisata. Sedangkan aku hanya lulusan SMA. Johannes sudah berjanji padaku bahwa dia akan menikahiku, setelah dia selesai kuliah dan menjadi seorang  sarjana. hari yang aku tunggu telah tiba, setelah lamanya penantian yang aku berharap tidak akan menjadi sia-sia. tetapi aku masih belum yakin, 'apakah Allah akan merestui hubungan kami?.' 


Johannes mengengam kencang tangan ku. Memberikan aku kekuatan agar tidak perlu gugup di depan orang tuanya nanti. Semangat itulah yang membuat ketakutan ku perlahan terkikis.


"Assalamualaikum bu,pak." Aku mengucapkan salam sebelum kaki ku melangkah masuk ke dalam rumah Johannes. 


Orang tua Johannes melihat ke arah pintu. Melirik ku dengan bingung. Wajar saja mereka seperti itu, karena ini pertama kalinya aku menginjak kan kaki di rumahnya.


"Apa yang kau ucapkan tadi?." Ujar ibu Johannes melihat ku dengan tatapan tajam, tanpa adanya senyuman menyambut kedatangan ku.


"Sebuah salam dalam ajaran agama kami, Bu." Ujar ku berjalan ke arah ibu dan mengulurkan tangan ku untuk salaman.


"Tidak...Tidak perlu." Ujar ibu dengan tegas menolak salaman ku. "Apakah kau Islam?!" Lanjutnya lagi dengan ketus.


"Benar bu, saya seorang Muslim." Jawab ku dengan suara sopan.


"Johannes, siapakah dia ?." Ibu bertanya kepada Johannes, anaknya.


" Dia Aminah perempuan yang akan saya nikahi." Jawab Johannes dengan penuh keseriusan.


"Omongan kosong macam apa kau ini nak, lihat wanita ini dia seorang muslim!." Ibu berbicara lantang kepada Johannes.


"Lantas kenapa memang bila saya menikahi wanita beragama Islam?." Ujar Johannes dengan suara yang berapi-api.


"Dengarkan ucapan ibu, kau boleh menikahi beribu wanita , asalkan kau tidak menikahi wanita beragama Islam." Ujar ibu mencoba meyakinkan Johannes.


"Cukup ibu. sudah lama saya menjanjikan pernikahan pada Aminah. Tapi, dengan ringan kau batalkan begitu saja. Camkan saya ibu, ingat bila kau tidak merestui kami , jangan kau harap saya anak mu!." Johannes memberikan ancaman kepada ibunya, dengan penuh amarah yang menyelimuti dirinya saat ini. 


"Johannes hentikan! kau tidak boleh berkata kasar pada ibu mu." Bentak ayah kepada Johannes.


"Saya tidak kasar, tapi saya hanya ingin meminta kalian merestui hubungan saya dengan Aminah." Johannes terus saja memohon kepada kedua orang tuanya.


"Tidak sampai saya mati pun tidak akan saya beri restu pada kalian." Ujar Ayah.


"Johannes, sudah hentikan. Aku harus pulang ke Jakarta, aku tidak mau kamu jadi orang yang kasar kepada orang tua mu." Ujar ku yang dari tadi menahan sakit hati dan tangisan.


"Kau bicara apa Aminah? Aku tidak mau kita berakhir seperti ini." Ujar Johannes menahan ku untuk pergi.


"Ibu dan ayah akan merestui hubungan kalian dengan satu syarat untuk Aminah. Keputusan ada di tangan Aminah, kau boleh menolaknya dan tentu saja semua keputusan yang kau ambil akan ada konsekuensinya." Ujar Ibu telah memikirkan syarat yang harus di pilih oleh ku.


"Apa syaratnya ibu?." Tanya ku.


"Kamu bersedia untuk pindah ajaran ke dalam agama kami, dengan begitu kalian bisa menikah, bagaimana?." Ujar ibu yang membuat aku terkejut, terdiam dengan pilihan yang sangat menyulitkannya.


"Aminah, itu pilihan yang mudah. Pindah saja, dengan begitu kita bisa menikah." Ujar Johannes dengan tersenyum.


"Ibu, ayah. Maaf saya pamit pulang." Ujar aku dan kemudian pergi meninggalkan rumah Johannes.


Aku berlari menjauhi rumah Johannes, menangis terisak-isak karena syarat yang membuat ku harus memilih. Aku tidak bisa dan tidak mungkin pindah agama. 


"Aminah, tunggu!." Johannes berhasil meraih tangan ku dan membuat langkahan kaki ku berhenti.


"Aku rasa sudah cukup sampai disini." Ketus ku.


"Apanya yang cukup? Ini semua tidak akan berakhir." Ujar Johannes yang tetap tidak mau berakhir.


"Seharusnya memang dari awal tidak pernah ada kata kita. Aku dan kamu hanyalah seseorang yang keras kepala." Ujar ku.


"Kamu hanya perlu pindah ke agama ku dan dengan begitu semua selesai." Ujar Johannes.


"Aku tidak mungkin Murtad itu dosa besar Buat aku. Aku salah sudah mencintaimu, aku salah menaruh segudang harapan untuk hubungan kita yang sebenarnya tidak diizinkan bersatu oleh Allah. Pernikahan beda agama hukumnya haram dan tidak sah." Ujar ku menjelaskan pada Johannes, walaupun sebenarnya aku juga merasakan kesakitan dan sesak di dada. 


"Jadi, kamu mau kita berakhir?." Johannes bertanya kepada ku.


"Aku mau kita berhenti untuk saling mengharapkan lagi!." Ujar ku dengan ketus. Mulut ku begitu lantang berkata, tetapi hati ku hancur karena menahan pahitnya kenyataan.


Bumi seperti sedang runtuh untuk menyapu setiap titik yang ada didepannya. Aku seperti ingin menghilang saat ini juga. Guncangan di dada ku begitu bergetar dan anehnya jantung ku ingin segera berhenti. Aku tidak mengerti yang aku rasakan saat ini, aku sulit untuk mendeskripsikan apa perasaan ku yang kacau balau saat ini. 


"Berhenti? Baik, jika itu keputusan mu. Bahagia selalu kamu." Ujar Johannes. "Aku ingin memelukmu untuk menjadi pelukan yang terakhir, terima kasih sudah hadir ke dalam hidup ku." Johannes memeluk ku sambil menepuk pundak ku untuk memberikan semangat. Sepertinya Johannes tau bahwa ini juga tidak mudah bagi diriku.


"Dinding ini begitu tebal dan tinggi, maaf aku tidak bisa untuk merobohkannya. Aku tidak sanggup, ini sangat sulit untuk kita." Ujar ku menangis di dalam dekapan Johannes. 


"Menangis lah, maaf karena telah membuat mu menunggu untuk hal yang tidak pernah bisa digapai." Ujar Johannes. 


Sekarang sudah tidak ada lagi kata kita. Kata kita telah hilang bersama lenyapnya pelukan terakhir. Kini hanya ada kata aku dan kamu, bukan kita seperti dulu. Tembok itu begitu tinggi, sulit sekali untuk merobohkannya. Kamu pernah menjadi sebuah nama yang selalu aku amin kan disetiap doa ku pada sepertiga malam. Kamu adalah sebuah nama yang membuatku menunggu, walaupun aku tau penantian itu akan sia-sia. 


Lembar Terbuka di halaman yang baru, menutup lembaran lama yang membuat kepedihan mendalam. Kisah ku dan kamu yang pernah menjadi kita akan aku tutup. Aku berusaha membuka lembaran baru untuk kisah ku yang baru. Kisah yang aku harapkan akan menjadi selamanya. 






















Komentar

Postingan populer