Satu Pohon Berbeda Rasa Buah





Tidak semua rasa buah itu manis, walaupun dari satu pohon yang sama buah itu berbuah.

....


Mungkin jika saja semua rasa buah yang berbuah di pohon itu rasanya manis. Aku yakin pohon tersebut tidak akan merasakan kecewa, karena dalam proses waktu yang cukup lama, sebuah pohon memberikan izin setiap batang-batangnya  untuk merawat bunga-bunga kecil yang cantik dan menunggunya menjadi buah yang indah dengan rasa manis seperti madu bercampur gula. 


Lihatlah pohon itu yang selalu berdiri membopong begitu banyak beban dari rasa sakit yang membuatnya berdarah. Pohon yang seolah-olah kuat, padahal jiwa dan hatinya hancur berkali-kali lipat. Pohon yang menahan derasnya air mata yang ingin mengalir, dengan ombak amarah akan rasa lelah untuk tetap bertahan. 


Sudah sangat lama pohon itu bertahan untuk membesarkan dua buah dengan rasa cinta kasih yang penuh di berikannya. Salah satu buah bisa merasakan ketulusan dari sebuah pohon dengan akar yang melemah. Sedangkan buah yang satu tidak mempedulikan ketulusan yang telah di berikan pohon. 


Pohon yang mampu bertahan, menutupi rasa kecewa dan tidak pernah lelah memberikan rasa cinta untuk buah-buahnya itu adalah Bunda dengan cintanya yang luar biasa. Bunda berkorban dengan nyawa agar anak-anak tercinta bisa melihat dunia yang indah dengan banyak rasa cinta. 


Langit dengan warnanya yang mendung dan hujan yang menjadi pelengkapnya turun di tengah bunda sedang bekerja, berjualan di jalan. Hujan yang menguyur bunda dan semua manusia disaat itu. Bunda tidak di lindungi dengan payung atau pun jas hujan, berjalan kaki dengan langkahan kaki kecil menapak di aspal yang becek. 


"Kerupuk...! Kerupuk....!" 


Kalimat itu yang selalu bunda ungkapkan di saat berjualan di jalan. 


"Bunda?!." 


Rina adalah anak kedua bunda yang turun dari angkutan umum saat melihat bundanya di depan matanya. 


"Rina, bagaimana kuliahnya, nak?." 


Bunda tersenyum sambil mengusap rambut Rina. 


"Bunda ini hujan, ayo bunda kita pulang!." 


Hati Rina seperti teriris pisau yang begitu tajam sambil memotong daun bawang, sangat pedih perasaan Rina saat melihat wajah bunda yang lelah, baju basah kuyup dan tangan terbakar paparan sinar matahari siang. 


"Dagangan bunda belum tejual, Rin. Kakak kamu harus membayar ujian secepatnya." 


Bunda memberikan pengertian kepada Rina.


"Bunda, udah cukup bunda. Rina bisa berhenti kuliah dan cari kerja yang full time. Rina tau bunda cape, Rina egois sama bunda."


 Rina meneteskan air mata yang dari tadi di tahan olehnya.


"Bunda tidak pernah lelah, lihat bunda Rina!," 


Rina menatap bunda.


 "Bunda sehat dan bunda senang melihat anak-anak bunda bisa kuliah, bunda ingin sekali datang mendampingi kalian wisuda. Lagi pula kuliah kamu tidak lama lagi, jadi jangan menangis. Bunda sayang kalian berdua."


 Bunda memeluk Rina yang berusaha menahan tangisannya. 


Hujan belum kunjung reda, Rina melindungi bunda dengan payung sambil berjualan. Hingga jarum pendek berhenti di angka yang berbeda dan langit mendung berhenti ketika bulan hadir di tengah bintang-bintang kecil membantunya memberikan cahayanya kepada bumi. 


Bukan rumah sederhana yang membuat kenyamanan, bukan pintu kayu yang mulai memuai bentuk ketulusan. Tetapi, kehadiran bunda dengan keikhlasan hati untuk membesarkan kedua putri tercinta dengan mempertaruhkan nyawa dan tenaga untuk terus bekerja. 


Bunda adalah orang tua yang rela mengorbankan tenaga dan waktunya hanya untuk anak-anaknya. Bunda seperti seekor elang yang terbang jauh untuk mencari makan, dengan mengepakkan kedua sayapnya melintasi langit dengan cuaca-cuaca menyapa. Semua itu bunda lakukan untuk Rani dan Rina. 


Bunda dan Rina sampai di depan rumah dengan napas lega, cuaca hujan yang datang mendadak menjadikan bunda basah kuyup dan ke dinginan. Masing-masing mata kami melihat ke arah Rani dan seorang laki-laki dengan umur dua tahun diatas Rani. Laki-laki yang selalu mengunjungi rumah kami, dia adalah pacar Rani.


"Bunda udah pulang? Bunda tidak lupakan kalau Rani harus membayar ujian dua hari lagi dan Rani minta uang Bun, untuk bayar bensin Pram!." 


Ujar Rani yang selalu saja meminta uang pada bunda tanpa pernah peduli betapa lelahnya bunda saat pulang kerja. 


"Bunda belum pegang uang Rani, doakan saja bunda supaya di beri kesehatan agar bisa terus bekerja." 


Ujar bunda yang sedang duduk melepaskan rasa lelah. 


"Ini bunda air teh hangatnya, di minum dulu!." 


Rina menyiapkan air minum untuk bunda dan mempijat kaki bunda. 


"Kak, bunda lagi cape. Biarin bunda istirahat, tadi bunda kehujanan. Kenapa Kaka tidak minta pacar Kaka untuk kerja, bukannya dia udah lulus kuliah?." 


Ketus Rina yang sudah habis kesabarannya mendengar tuntutan kak Rani pada bunda untuk diri kak Rani dan pacarnya. 


"Aku itu cape kalau harus jalan kaki ke kampus, jadi apa salahnya kalau aku minta antar jemput pacarku? Dan wajar dong pacarku minta bayar untuk uang bensin, karena aku belum kerja, jadi aku minta bunda yang bayar." 


Rani terlihat kesal dengan ucapan Rina, tidak ada raut wajah pengertian pada diri Rani.


"Udah...udah...kalian jangan bertengkar, bunda akan cari uang lebih giat ya."


"Rani suka kalau bunda semangat gini, lagian bundakan kerja di dua tempat, jadi pembantu dan jualan kerupuk, pasti bunda punya banyak uang dong. Kamu juga Rina jangan sombong cuma karena kamu ada kerja sampingan hari Minggu, lagi pula gaji kamu kecilkan?." 

Ujar Rani sambil memeluk bunda. 


"Yaudah tante, Pram dan Rani pergi keluar dulu". 


Ujar Pram pacar Rani.


"Mau pergi kemana sudah malam begini?." 


Tanya bunda khawatir.


"Aduh... bunda udah deh jangan khawatir gitu, Pram mau ajak Rani makan malam, bunda." 


Ujar Rani tertawa kecil.


  "Udah ayo Pram kita pergi sekarang!." 


Rani merangkul Pram dan kemudian pergi dengan motor.


"Bun, bunda kenapa tidak bisa membentak Kak Rani? Menurut Rina, kak Rani udah kelewatan bunda. Kenapa bunda harus membayar uang bensin antar jemput? Kak Rani kan tau gimana kondisi ekonomi kita?."


 Ujar Rina berbicara dengan lembut pada bunda, walaupun dalam hati Rina sudah muak dengan sikap angkuh kakaknya.


"Bunda sayang dengan kalian berdua, bunda tidak mau Rani pergi dari rumah setelah bunda bilang seperti yang kamu minta." 


Ujar Bunda dengan kelembutan hatinya mencintai kedua putrinya.


"Yaudah kalau begitu, bunda yang lebih paham."  

Ujar Rina dan kemudian tertidur di kaki bunda.


Anak hanyalah seperti bahan yang belum menjadi baju. Benang-benang sebagai proses setiap jahitan merekat menjadi sebuah baju. Belum banyak pengalaman yang di dapat, jika di bandingkan dengan seorang bunda yang berjiwa kuat. Tetapi, mengapa seorang anak bisa begitu teganya mengutamakan setiap ke egoisannya kepada seorang bunda. 


Keesokan harinya dengan pagi yang cerah menerangi bumi yang kemarin sempat di guyur oleh hujan. Bunyi suara burung dan ayam yang berkokok membangunkan manusia untuk bangun. 


"Bunda, Rina belikan sarapan ya. Bunda mau apa?"


 Ujar Rina. 


"Tidak Rina, bunda harus berangkat kerja dulu. Majikan bunda pasti marah-marah kalau bunda terlambat datang ke rumahnya." 


"Bun, Rani mau minta Carikan kerjaan untuk Pram!." 


Ujar Rani yang baru bangun.


"Tapi bunda tidak bisa Carikan kerjaan untuk Pram, nak." 


Ujar bunda menolak.


"Tapi kenapa bunda?." 


Tanya Rani.


"Rani, udah cukup kamu mementingkan pacar kamu itu!." 

Ujar bunda.


"Kenapa bunda tiba-tiba begini? Aku sayang sama Pram bunda dan bunda sebagai orang tua harusnya juga rela berkorban demi pacar anaknya."


ketus Rani.


"Kenapa kamu selama ini lebih peduli dengan pacar kamu, nak?."


Bunda menangis dengan sikap dan ucapan Rani selama ini. 


"Kamu akan terasa Rani bila bunda sudah tidak ada."


 Ujar bunda dan kemudian pergi bekerja. 


Sikap Rani tidak pernah berubah pada bunda. Seperti tidak memiliki perasaan dan menjadi sekeras batu. Bunda selalu bersikap sabar dan menahan semua tangisannya di dalam hati. Ruang hati yang terisi untuk menahan kepedihan bunda. 


Besok adalah hari ulang tahun bunda yang bertepatan dengan hari ibu nasional tanggal 22 Desember. Rina berencana untuk mengajak bunda pergi jalan-jalan dengan uang yang Rina kumpulkan selama kerja sampingan di hari Minggu. 


"Bunda sudah pulang? Rina ambilkan minum ya untuk bunda, nanti Rina pijat kaki bunda seperti biasa." 


"Tidak Rina, bunda ingin istirahat saja. Rin, nanti kalau Kaka kamu minta uang ujian nya ambil saja di tas ibu ya!." 


Ujar bunda yang kemudian tertidur. Rina terlihat heran, tidak biasanya bunda seperti ini, mungkin bunda terlalu kecapean.


Tidak lama kemudian setelah bunda tertidur, kak Rani pulang dari kampus bersama pacarnya, Pram. Rani melihat ke arah bunda yang sudah tidur.


"Aduh, bunda udah tidur ya, aku mau minta uang ujian untuk besok." 


Ujar Rani. 


"Ini uangnya kak, bunda kecapean jadi langsung tidur. Bunda minta aku untuk kasih uang ini ke Kaka." 


Rina memberikan uang kepada Rani sesuai yang di minta bunda dan Rani menerimanya.


"Sayang aku pulang dulu ya?."


"Hati-hati dijalan saying." 


Sudah berjam-jam bunda tidak bangun atau mungkin bunda terlalu lelah karena bekerja kemarin. Tidak biasanya bunda belum bangun sampai siang hari. Rina mengecek ke dalam kamar dan mengusap kepala bunda.


"Bun, bunda...?" 


Ujar Rina dan belum ada jawaban dari bunda. Rina memegang tangan dan kaki bunda yang dingin sekali. 


"Bunda kedinginan?" 


Tanya Rina sekali lagi, tetapi tidak ada jawaban apapun dari bunda. Rina merasa ada yang aneh dengan bunda. Rina mengecek pernapasan di hidung bunda, dan detak jantung bunda. 


"BUNDAAA!!"


 Rina berteriak histeris dengan tangisan yang tidak bisa berhenti. Rina memanggil nama bunda berkali-kali agar bunda bangun, tetapi hasilnya tetap sama.


"ada apa, kenapa bersisik banget?" 


Ujar Rani.


"Bunda udah meninggal kak, bunda kak. Padahal hari ini hari ibu, bunda kenapa pergi?" 


Rani terjatuh di lantai, semua badannya menjadi lemah dengan kejadian ini.


"Bunda pasti bercanda, Rin."


Tersimpan di dalam benak Rina rasa marah dan sedih. Rina mencoba menghilangkan rasa dendamnya pada kak Rani. Rina merasa kematian bunda karena rasa egois kak Rani. Di depan mata Rina dan Rani, bunda di kuburkan Dengan tumpukkan tanah dan bauran bunga-bunga. Tertulis di batu nisan nama bunda. Semua air mata jatuh ke tanah, semua penyesalan terungkapkan ketika itu. 


Rani dan Rina menemukan selembar surat dengan rangkaian kalimat bukti tulisan bunda. Rani dan Rina membaca surat tersebut dengan derai air mata. 


Rani dan Rina, kalian adalah anak-anak bunda yang paling bunda sayang. Semua rasa cinta, bunda berikan untuk kalian. Bunda minta maaf karena tidak bisa memberikan kalian kebahagiaan berupa materi. Bunda hanya bisa berkorban nyawa dan waktu untuk kalian tetap hidup. Terus lanjutkan perjalanan kalian, walaupun tanpa bunda. Rani, bunda percaya kamu bisa merubah sikap dan sifat kamu. Bunda yakin anak-anak bunda adalah anak yang baik. Walaupun kalian dilahirkan didalam kandungan yang sama, tapi bunda tau sifat kalian berbeda. Bunda harus pergi, jaga diri kalian berdua. Percayalah, setiap hal baik selalu bersama kalian. Bunda mencintai kalian.


Surat itu merupakan pesan terakhir dari bunda untuk Rani dan Rina. Kedua putri yang sangat di cintai oleh bunda. Semuanya menjadi sangat jelas dan terasa. Rasa sepi dan sunyi tanpa kehadiran bunda. Semua kenangan begitu mendekap menyelimuti rumah, suara bunda masih terdengar jelas. 


Semenjak ayah pergi meninggalkan keluarga dan tidak pernah kembali dan di saat itu lah bunda memiliki dua peran menjadi bunda sekaligus ayah. Bunda adalah wanita yang hebat di dalam hati Rani dan Rina. Rani menyadari betapa egoisnya dirinya selama ini. 


Sebatang korek tidak akan bisa mencukupi ruang dari sekotak rokok. Begitu juga dengan kehidupan yang selama ini bunda rasakan. Kebutuhan yang banyak, tidak bisa tercukupi hanya dengan upah yang kecil. Tetapi, bunda tidak pernah menyerah dan tetap bersyukur. Bunda adalah perempuan dengan jiwa dan hati yang tulus.


๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ

Allhamdulilah,aku sangat berterimakasih untuk semua support kalian, sampai cerpen Satu Pohon Berbeda Rasa Buah bisa meraih Juara 3. Kritik kalian aku terima dan saran kalian juga di kolom komentar, terimakasih ๐Ÿ™๐Ÿป

Komentar

Postingan populer