KUNING SIANG





Aku tertawa sungguh riang, mencium aroma pagi yang sejuk menjadi nyaman. Sebentar aku singgah di rumahku yang tidak semua orang memilikinya, lihatlah ini sangat istimewa. Kardus coklat bekas minuman terbentang menjadi alas tempat tidurku—tuan putri ayah. 

Ibu matahari memberikan cahayanya kepadaku siang ini. Sorotan silaunya membuat kedua mataku menjadi malu menatapnya kembali. Benda itu begitu kecil di tatap dari bawah. Kuningnya cerah memancarkan cahaya yang tidak siapapun punya. 

“Tuan putri ayah sedang apa?.” Seorang pria tua ikut duduk di sebelahku, dia adalah ayahku. 

Mataku menoleh mengikuti asal suara, “ingin lebih dekat dengan matahari, ayah. Supaya kami bisa berteman.” Terpancar raut wajah dengan senyum melebar. 

“Maafkan ayah ya, Nak. Ayah belum menemukan donor jantung untuk kamu.” Butiran bening terjatuh dari mata membasahi pipi. Tangan keriput dengan sigap segera menyekanya. Ayah mencoba menahan tangis karena berbohong kepadaku. Bukan belum menemukan, hanya saja ayah tidak mampu membiayai operasi-ku. 

Herannya, aku masih bisa bergembira. Ketika sebuah keranda akan menjadi kendaraan mengantarku. Kibaran bendera kuning yang siap mengiringiku. Tidak apa aku tidak operasi. Stadium akhir tidak membuatku menjadi sedih.

“Bintang kecil di langit yang biru, amat banyak menghias angkasa —.” Merdu sekali suara nyanyian yang keluar dari mulut anak kecil sepertiku. Seraya ayah juga ikut tersenyum mendengarku.

“Ayah tidak perlu sedih!, Ayah juga harus bahagia. Jaga tempat tidur-ku, jangan biarkan hujan membasahinya!.” Perintah seorang anak kecil kepada ayahnya dengan sungguh-sungguh. 

Ayah teramat menatapku dengan mata sendu. Terlintas di pikirannya ucapan dokter kala itu seperti Tuhan saja. Lancangnya menentukan batas usiaku-putri tersayang ayah. 

“Jika aku pergi nanti, ayah janji tidak akan sedih, ya?. Ayo janji dulu ayah!.” Jari kelingking mungil meminta di satukan oleh jadi kelingking ayah. 

“Ayah janji. Tapi ayah tidak mau kamu pergi.” Jelas tergambar di wajah ayah yang berat untuk melepaskan aku pergi. Aku tidak bisa menjanjikan ayah agar aku tidak pergi. Stadium akhir membuatku tidak berharap banyak bisa tetap bertahan menahan sakitnya penyakit yang aku rasakan. Walaupun raut wajah gembira yang terpasang ku jadikan topeng. 

Seketika aku merasa ingin lekas memejamkan kedua mata. Sekujur tubuhku menjadi lemas. Samar-samar aku memandang wajah pria tua dengan sebutan ayah. “Ayah? Apakah ini saatnya aku bisa berteman bersama matahari?,” Tanyaku dengan lemas.

“Kamu bisa berteman dengan bulan, bintang dan semuanya juga. Kamu akan bahagia dan tidak merasa sakit.” Ayah mendekap tubuhku. Aku terjatuh ke dalam pelukan penuh kasih sayang dari ayah. Tanganku ku paksa meraih air mata di pipi ayah. “Jangan nangis ayah,” ujar ku. Kedua tanganku terjatuh, kepalaku tertidur di pelukan ayah, kedua mataku terpejam dan bibir yang meninggalkan senyuman. 

“Putri!.” Ayah berteriak memanggil namaku untuk kembali. Walaupun ayah tahu hal itu tidak mungkin terjadi. 

Seorang anak kecil sepertiku yang berusia 7 tahun. Hari ini sudah tidak merasa kesakitan lagi. Di tengah penyakit gagal jantung stadium akhir, aku masih tetap ceria. Aku tidak pernah membenci ayahnya. Aku sangat menyayangi sosok pria tua berambut putih tersebut. Sisa hidupku yang tidak ingin di penuhi kesedihan, aku akan selalu bahagia. 

Komentar

Postingan populer